Waimarang: Tirta Suci dari Rimba Terlupakan

Di jantung hutan Sumba Timur, di balik rimbun dedaunan dan bebatuan yang bisu, mengalirlah sebuah rahasia alam bernama Air Terjun Waimarang sebuah kolam zamrud yang dijaga oleh waktu, diselimuti kabut sunyi, dan dibisikkan legenda dari generasi ke generasi. Waimarang bukan sekadar air yang jatuh dari tebing; ia adalah tirta leluhur, dipercayai sebagai tempat peristirahatan roh-roh penunggu hutan. Masyarakat setempat menyebutnya “Mata Air Para Penjaga”, karena diyakini setiap pancurannya menyimpan kekuatan penyucian jiwa dan raga.

Konon, pada malam tertentu saat bulan menggantung rendah dan burung malam tak bersuara terdengar lantunan nyanyian perempuan tua dari balik tebing. Ia adalah Ina Kudu, roh penenun zaman purba, penjaga rahasia air yang memelihara kesuburan tanah-tanah adat. Melintasi jalan setapak menuju Waimarang, pengunjung tak hanya berjalan dalam alam, tapi juga menapaki jejak sejarah Marapu, kepercayaan leluhur Sumba yang memuliakan alam sebagai bagian dari roh agung semesta. Di sekitar air terjun, batu-batu besar sering menjadi tempat sesajen kecil—sirih pinang, bunga, dan tetesan tuak lokal simbol penghormatan dan permohonan izin pada penjaga tak kasat mata.

Begitu tiba, mata akan dimanjakan oleh pemandangan surgawi: kolam berwarna biru kehijauan yang tersembunyi di ceruk batu, dikelilingi dinding-dinding alam yang menjulang seperti panggung untuk ritual purba. Cahaya matahari yang menyelinap jatuh di permukaan air, menciptakan tarian cahaya yang seolah menghidupkan ruang itu mistis namun memesona. Waimarang bukan tempat untuk sekadar berfoto; ia adalah ruang kontemplasi, tempat jiwa bertemu sunyi dan menyentuh sisi spiritual dari sebuah pulau yang menari dalam paradoks: keras dan lembut, liar dan suci, terlupakan namun tak tergantikan.

Untuk mencapai Air Terjun Waimarang, perjalanan dimulai dari Waingapu, ibu kota Sumba Timur. Dari pusat kota, arahkan kendaraan ke tenggara menuju Desa Waimarang, yang dapat ditempuh sekitar 1,5 jam berkendara melewati hamparan sabana, bukit batu, dan rumah-rumah adat yang menyembunyikan cerita leluhur. Sesampainya di area parkir, petualangan belum selesai. Pengunjung harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak menurun sejauh ±1 kilometer, melewati hutan tropis dan bebatuan licin. Suara alam perlahan menggantikan deru mesin dan saat gemuruh air mulai terdengar, itu tandanya surga kecil bernama Waimarang sudah dekat, menanti dengan sabar di pelukannya yang tersembunyi.

Jangan harap kemewahan di Air Terjun Waimarang, karena yang akan menyambutmu bukan bangunan megah, melainkan keheningan hutan dan desir angin yang menyanyikan lagu leluhur. Fasilitas di sini sederhana: parkir di tanah warga, jalur trekking alami sejauh satu kilometer, dan warung kecil di desa yang menjual air dan senyum ramah. Tak ada toilet, kamar bilas, atau penginapan karena tempat ini bukan dibuat untuk tinggal lama, tapi untuk menemukan kembali dirimu yang hilang di tengah gemuruh air dan sunyi yang suci. Datanglah dengan hati yang rendah, dan biarkan Waimarang menyentuh jiwamu dengan caranya yang tenang namun agung.

Sumber : Wikipedia / Karya surang
Sumber : https://tehsusu.com / Zizy Damanik
Sumber : Foto Z Creators/Arianto Selly

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *